Senin, 30 April 2012

SEKILAS SEJARAH BUTON



Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.

Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.


Sejarah Awal


Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

Bidang Politik


Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Bidang Hukum

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli . Rolan (bicara) 04:57, 26 November 2008 (UTC)

Bidang Perekonomian


Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Bidang Pertahanan


Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau-Bau.

Raja-raja Buton


1. Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
2. Raja ke II Bulawambona
3. Raja ke III bataraguru
4. Raja ke IV tua rade
5. Raja ke V Mulae
6. Raja ke VI Murhum

Sultan-Sultan Buton


1. Sultan ke-1 Murhum dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537),
2. Sultan ke-2 La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
3. Sultan ke-3 La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
4. Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,
5. Sultan ke-5
6. Sultan ke-6 La Buke
7. Sultan ke-7
8. Sultan ke-8
9. Sultan ke-9 La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,
10. Sultan ke-10 La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,
11. Sultan ke-11 La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
12. Sultan ke-12 La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,
13. Sultan ke-13
14. Sultan ke-14 La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,
15. Sultan ke-15
16. Sultan ke-16 La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,
17. Sultan ke-17 La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,
18. Sultan ke-18 La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,
19. Sultan ke-19 La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,
20. Sultan ke-20 La Karambau (1750-1752)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
21. Sultan ke-21 Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,
22. Sultan ke-22 La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,
23. Sultan ke-23 La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
24. Sultan ke-24 La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
25. Sultan ke-25
26. Sultan ke-26 La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,
27. Sultan ke-27 La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.


MAKNA SIMBOLIS PADA ISTANA MALIGE BUTON


Potensi Kebudayaan di Sulawesi Tenggara memang tiada duanya, namun pada kesempatan ini, opini yang bernuansa penelitian ini, hanya dibatasi pada makna simbolis Istana Malige di Buton.
Peninggalan dari Peradaban Buton masa lampau, sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat, baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dll, hingga pada kebutuhan bathin seseorang yang dalam rangka proses kehidupannya, ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama Islam tarekat yang terkenal itu…?. Dan sebaliknya banyak pula orang, kelompok, bangsa dan sindrom yang sengaja ingin menghancurkan serta memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya…? Hem……
Daerah seribu pulau, seribu benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton yang secara geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ – 125⁰ Bujur Timur, merupakan kawasan timur jazirah tenggara Pulau Celebes/Sulawesi.
Menurut referensi serta pengakuan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan wilayah otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan tersendiri. Karakter budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta mampu bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras, dan cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di masa lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam berbagai bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya.
Ibarat prasasti dan goresan profil pada candi-candi di Jawa, yang mengkisahkan berbagai hal dan peristiwa, sesuai yang tertuang dalam babad tanah jawi, Buton pun memiliki kisah yang tak kalah menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan peradaban Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran lambang/simbol maupun rangkaian ragam hias di berbagai pelosok kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Wilayah 72 (tujuhpuluh dua) kadie terletak di seluruh kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie menjadi referensi dan oleh parah ahli arkeologi; wilayah kadie dikategorikan sebagai situs pemukiman sekaligus sebagai bukti konkrit bahwa Buton masa lalu memang Raya dan Jaya.
Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat cantik di berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah satu benda yang kaya akan makna simbolis baik konstruktif maupun dekoratif itu adalah Kamali/Istana Malige.
Kamali/Istana Malige (berarti pula Mahligai) adalah salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton, dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini Kamali/Istana Malige merupakan sebuah artefak yang keberadaannya dapat mengungkap berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan hingga sekarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang menganggap bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun dekorasi. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah pada sabda Nabi Muhammad, SAW yang termuat dalam tafsir Kanzil-Umal. Hadist ini mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan sebagai amiril mu’minin.
Istana Malige, kamali dan atau rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada. Di katakan istana/kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi bangunan, berfungsi konstruksi yang disebut kambero (kipas), lengkaplah di sebut kamali karena di sebut banua tada kambero, inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan banua tada.
Satu hal yang menarik pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat biasa adalah peninggian lantai rumah yang berbeda-beda, peninggian lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan semakin kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan dan buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan. Untuk fungsi dapur dan WC harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai bangunan utama. Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk dapur dan WC di bangun terpisah dan hanya di hubungkan oleh satu tangga. Dapur dan WC secara simbolis adalah dunia luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan. Tampak bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni, alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang menumpu pada pondasi batu alam, dalam bahasa Buton di sebut Sandi.
Sandi tersebut tidak di tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat. Sandi berfungsi meletakkan tiang bangunan, antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam akherat)/ konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya lebih bersifat profan.
Konstruksi lainnya adalah balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekerti orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana.
Makna simbolis pada konstruksi Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:

1. Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut menunjukkan adanya tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
2. Balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana,
3. Tiang Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai (tiang tengah), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat (ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah Tiang Utama sebagai tempat meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya. Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena, yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
4. Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat bermakna posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus di hormati, dan secara simbolis mengingatkan pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
5. Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi persoalan.
6. Dinding sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
7. Jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai kubah. dll

Makna simbolis pada Dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:

1. Nenas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
2. Bosu-bosu adalah buah pohon Butun (baringtonia asiatica) mrupakan simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang suci.
3. Ake merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana Malige Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud.
4. Kamba/kembang yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah (surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala pada masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra Islam di Buton,
5. Terdapatnya Naga pada bumbungan Atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Naga adalah Binatang Mitos yang berada di Langit, bukan muncul dari dalam Bumi. Keberadaan Naga mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan Cina.
6. Terdapatnya Tempayan berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali maupun rumah rakyat biasa. dll

Kamali/Istana Malige dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai wujud keseimbangan alam dan manusia. Disisi lain keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam hiasnya secara detail.
Sangat disayangkan jika keberadaan bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung di abaikan, contoh kasus adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen) di lokasi Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini yang jelas menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari replika rumah adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, menyalahi citra/image, karena bangunan tersebut telah di padukan dengan rumah etnis lain selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar Identitas dan keragaman khasanah rumah adat tradisional di Sulawesi Tenggara itu semakin jelas bukan malah samar-samar. Kasus lain yang lebih aneh adalah peng-karakter-an simbol Naga di Pantai Kamali Kota Bau-Bau, yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan simbol binatang bumi.
Mari kita semua membuka jendela hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya lokal, terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias, sebagai karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk anak cucunya di dunia. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa “sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang (simbol)” (by Leslie White). Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah simbol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar